Minggu, 25 November 2012
Teori masuknya isl;am
Teori
Mengenai Masuknya Islam ke
Indonesia
Proses masuknya agama
Islam ke Indonesia tidak berlangsung secara revolusioner, cepat, dan tunggal,
melainkan berevolusi, lambat-laun, dan sangat beragam. Menurut para sejarawan,
teori-teori tentang kedatangan Islam ke Indonesia dapat dibagi menjadi:
v Teori
Mekah
Teori Mekah mengatakan
bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia adalah langsung dari Mekah atau Arab.
Proses ini berlangsung pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M. Tokoh yang
memperkenalkan teori ini adalah Haji Abdul Karim Amrullah atau HAMKA,
salah seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia. Hamka mengemukakan
pendapatnya ini pada tahun 1958, saat orasi yang disampaikan pada dies natalis
Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTIN) di Yogyakarta. Ia menolak seluruh anggapan
para sarjana Barat yang mengemukakan bahwa Islam datang ke Indonesia tidak
langsung dari Arab.
Bahan argumentasi yang
dijadikan bahan rujukan HAMKA adalah sumber lokal Indonesia dan sumber Arab.
Menurutnya, motivasi awal kedatangan orang Arab tidak dilandasi oleh nilainilai
ekonomi, melainkan didorong oleh motivasi spirit penyebaran agama Islam. Dalam
pandangan Hamka, jalur perdagangan antara Indonesia dengan Arab telah
berlangsung jauh sebelum tarikh masehi.
Dalam hal ini, teori HAMKA
merupakan sanggahan terhadap Teori Gujarat yang banyak kelemahan. Ia malah
curiga terhadap prasangka-prasangka penulis orientalis Barat yang cenderung
memojokkan Islam di Indonesia. Penulis Barat, kata HAMKA, melakukan upaya yang
sangat sistematik untuk menghilangkan keyakinan negeri-negeri Melayu tentang
hubungan rohani yang mesra antara mereka dengan tanah Arab sebagai sumber utama
Islam di Indonesia dalam menimba ilmu agama. Dalam pandangan HAMKA, orang-orang
Islam di Indonesia mendapatkan Islam dari orang- orang pertama (orang Arab),
bukan dari hanya sekadar perdagangan.
Pandangan HAMKA ini
hampir sama dengan Teori Sufi yang diungkapkan oleh A.H. Johns yang
mengatakan bahwa para musafirlah (kaum pengembara) yang telah melakukan
islamisasi awal di Indonesia. Kaum Sufi biasanya mengembara dari satu tempat ke
tempat lainnya untuk mendirikan kumpulan atau perguruan tarekat.
v Teori
Gujarat
Teori Gujarat mengatakan
bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-7
H atau abad ke-13 M. Gujarat ini terletak di India bagain barat, berdekaran
dengan Laut Arab. Tokoh yang menyosialisasikan teori ini kebanyakan adalah
sarjana dari Belanda. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah J.
Pijnapel dari Universitas Leiden pada abad ke 19. Menurutnya,
orang-orang Arab bermahzab Syafei telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak
awal Hijriyyah (abad ke 7 Masehi), namun yang menyebarkan Islam ke Indonesia
menurut Pijnapel bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan pedagang Gujarat yang
telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia timur, termasuk Indonesia.
Dalam perkembangan
selanjutnya, teori Pijnapel ini diamini dan disebarkan oleh seorang orientalis
terkemuka Belanda, Snouck Hurgronje. Menurutnya, Islam telah lebih
dulu berkembang di kota-kota pelabuhan Anak Benua India. Orangorang Gujarat
telah lebih awal membuka hubungan dagang dengan Indonesia dibanding dengan
pedagang Arab. Dalam pandangan Hurgronje, kedatangan orang Arab terjadi pada
masa berikutnya. Orang-orang Arab yang datang ini kebanyakan adalah
keturunan Nabi Muhammad yang menggunakan gelar “sayid” atau
“syarif ” di di depan namanya.
Teori Gujarat kemudian
juga dikembangkan oleh J.P.Moquetta (1912) yang memberikan
argumentasi dengan batu nisan Sultan Malik Al-Salehyang wafat pada
tanggal 17 Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu nisan di
Pasai dan makam Maulanan Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa
Timur, memiliki bentuk yang sama dengan nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat.
Moquetta akhirnya berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat,
atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah
belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya adalah kesamaan mahzab Syafei
yang di anut masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia
v Teori
Persia
Teori Persia mengatakan
bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari daerah Persia atau
Parsi (kini Iran). Pencetus dari teori ini adalah Hoesein
Djajadiningrat, sejarawan asal Banten. Dalam memberikan argumentasinya,
Hoesein lebih menitikberatkan analisisnya pada kesamaan budaya dan tradisi yang
berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia. Tradisi tersebut antara lain:
tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas
kematian Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad, seperti yang berkembang dalam
tradisitabut di Pariaman di Sumatera Barat. Istilah “tabut”
(keranda) diambil dari bahasa Arab yang ditranslasi melalui bahasa Parsi.
Tradisi lain adalah
ajaran mistik yang banyak kesamaan, misalnya antara ajaran Syekh Siti
Jenar dari Jawa Tengah dengan ajaran sufi Al-Hallaj dari Persia. Bukan
kebetulan, keduanya mati dihukum oleh penguasa setempat karena ajaran-ajarannya
dinilai bertentangan dengan ketauhidan Islam (murtad) dan membahayakan stabilitas
politik dan sosial. Alasan lain yang dikemukakan Hoesein yang sejalan dengan
teori Moquetta, yaitu ada kesamaan seni kaligrafi pahat pada batu-batu nisan
yang dipakai di kuburan Islam awal di Indonesia. Kesamaan lain adalah bahwa
umat Islam Indonesia menganut mahzab Syafei, sama seperti kebanyak muslim di
Iran.
v Teori
Cina
Teori Cina mengatakan
bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia (khususnya di Jawa) berasal dari
para perantau Cina. Orang Cina telah berhubungan dengan masyarakat Indonesia jauh
sebelum Islam dikenal di Indonesia. Pada masa Hindu-Buddha, etnis Cina atau
Tiongkok telah berbaur dengan penduduk Indonesia—terutama melalui kontak
dagang. Bahkan, ajaran Islam telah sampai di Cina pada abad ke-7 M, masa di
mana agama ini baru berkembang. Sumanto Al Qurtuby dalam
bukunyaArus Cina-Islam-Jawa menyatakan, menurut kronik masa Dinasti
Tang (618-960) di daerah Kanton, Zhang-zhao, Quanzhou, dam pesisir Cina bagian
selatan, telah terdapat sejumlah pemukiman Islam. Teori Cina ini bila dilihat dari
beberapa sumber luar negeri (kronik) maupun lokal (babad dan hikayat), dapat
diterima.
Bahkan menurut sejumlah
sumber lokat tersebut ditulis bahwa raja Islam pertama di Jawa, yakni Raden
Patah dari Bintoro Demak, merupakan keturunan Cina. Ibunya disebutkan berasal
dari Campa, Cina bagian selatan (sekarang termasuk Vietnam). Berdasarkan
Sajarah Banten dan Hikayat Hasanuddin, nama dan gelar raja-raja Demak beserta
leluhurnya ditulis dengan menggunakan istilah Cina, seperti “Cek Ko Po”, “Jin
Bun”, “Cek Ban Cun”, “Cun Ceh”, serta “Cu-cu”. Nama-nama seperti “Munggul” dan
“Moechoel” ditafsirkan merupakan kata lain dari Mongol, sebuah wilayah di utara
Cina yang berbatasan dengan Rusia.
Bukti-bukti lainnya
adalah masjid-masjid tua yang bernilai arsitektur Tiongkok yang didirikan oleh
komunitas Cina di berbagai tempat, terutama di Pulau Jawa. Pelabuhan penting
sepanjang pada abad ke-15 seperti Gresik, misalnya, menurut catatan-catatan
Cina, diduduki pertama-tama oleh para pelaut dan pedagang Cina.
Semua teori di atas
masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Tidak ada kemutlakan
dan kepastian yang jelas dalam masing-masing teori tersebut. Meminjam
istilah Azyumardi Azra, sesungguhnya kedatangan Islam ke Indonesia
datang dalam kompleksitas; artinya tidak berasal dari satu tempat, peran
kelompok tunggal, dan tidak dalam waktu yang bersamaan.
Teori masuknya isl;am
Teori
Mengenai Masuknya Islam ke
Indonesia
Proses masuknya agama
Islam ke Indonesia tidak berlangsung secara revolusioner, cepat, dan tunggal,
melainkan berevolusi, lambat-laun, dan sangat beragam. Menurut para sejarawan,
teori-teori tentang kedatangan Islam ke Indonesia dapat dibagi menjadi:
v Teori
Mekah
Teori Mekah mengatakan
bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia adalah langsung dari Mekah atau Arab.
Proses ini berlangsung pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M. Tokoh yang
memperkenalkan teori ini adalah Haji Abdul Karim Amrullah atau HAMKA,
salah seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia. Hamka mengemukakan
pendapatnya ini pada tahun 1958, saat orasi yang disampaikan pada dies natalis
Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTIN) di Yogyakarta. Ia menolak seluruh anggapan
para sarjana Barat yang mengemukakan bahwa Islam datang ke Indonesia tidak
langsung dari Arab.
Bahan argumentasi yang
dijadikan bahan rujukan HAMKA adalah sumber lokal Indonesia dan sumber Arab.
Menurutnya, motivasi awal kedatangan orang Arab tidak dilandasi oleh nilainilai
ekonomi, melainkan didorong oleh motivasi spirit penyebaran agama Islam. Dalam
pandangan Hamka, jalur perdagangan antara Indonesia dengan Arab telah
berlangsung jauh sebelum tarikh masehi.
Dalam hal ini, teori HAMKA
merupakan sanggahan terhadap Teori Gujarat yang banyak kelemahan. Ia malah
curiga terhadap prasangka-prasangka penulis orientalis Barat yang cenderung
memojokkan Islam di Indonesia. Penulis Barat, kata HAMKA, melakukan upaya yang
sangat sistematik untuk menghilangkan keyakinan negeri-negeri Melayu tentang
hubungan rohani yang mesra antara mereka dengan tanah Arab sebagai sumber utama
Islam di Indonesia dalam menimba ilmu agama. Dalam pandangan HAMKA, orang-orang
Islam di Indonesia mendapatkan Islam dari orang- orang pertama (orang Arab),
bukan dari hanya sekadar perdagangan.
Pandangan HAMKA ini
hampir sama dengan Teori Sufi yang diungkapkan oleh A.H. Johns yang
mengatakan bahwa para musafirlah (kaum pengembara) yang telah melakukan
islamisasi awal di Indonesia. Kaum Sufi biasanya mengembara dari satu tempat ke
tempat lainnya untuk mendirikan kumpulan atau perguruan tarekat.
v Teori
Gujarat
Teori Gujarat mengatakan
bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-7
H atau abad ke-13 M. Gujarat ini terletak di India bagain barat, berdekaran
dengan Laut Arab. Tokoh yang menyosialisasikan teori ini kebanyakan adalah
sarjana dari Belanda. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah J.
Pijnapel dari Universitas Leiden pada abad ke 19. Menurutnya,
orang-orang Arab bermahzab Syafei telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak
awal Hijriyyah (abad ke 7 Masehi), namun yang menyebarkan Islam ke Indonesia
menurut Pijnapel bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan pedagang Gujarat yang
telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia timur, termasuk Indonesia.
Dalam perkembangan
selanjutnya, teori Pijnapel ini diamini dan disebarkan oleh seorang orientalis
terkemuka Belanda, Snouck Hurgronje. Menurutnya, Islam telah lebih
dulu berkembang di kota-kota pelabuhan Anak Benua India. Orangorang Gujarat
telah lebih awal membuka hubungan dagang dengan Indonesia dibanding dengan
pedagang Arab. Dalam pandangan Hurgronje, kedatangan orang Arab terjadi pada
masa berikutnya. Orang-orang Arab yang datang ini kebanyakan adalah
keturunan Nabi Muhammad yang menggunakan gelar “sayid” atau
“syarif ” di di depan namanya.
Teori Gujarat kemudian
juga dikembangkan oleh J.P.Moquetta (1912) yang memberikan
argumentasi dengan batu nisan Sultan Malik Al-Salehyang wafat pada
tanggal 17 Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu nisan di
Pasai dan makam Maulanan Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa
Timur, memiliki bentuk yang sama dengan nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat.
Moquetta akhirnya berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat,
atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah
belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya adalah kesamaan mahzab Syafei
yang di anut masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia
v Teori
Persia
Teori Persia mengatakan
bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari daerah Persia atau
Parsi (kini Iran). Pencetus dari teori ini adalah Hoesein
Djajadiningrat, sejarawan asal Banten. Dalam memberikan argumentasinya,
Hoesein lebih menitikberatkan analisisnya pada kesamaan budaya dan tradisi yang
berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia. Tradisi tersebut antara lain:
tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas
kematian Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad, seperti yang berkembang dalam
tradisitabut di Pariaman di Sumatera Barat. Istilah “tabut”
(keranda) diambil dari bahasa Arab yang ditranslasi melalui bahasa Parsi.
Tradisi lain adalah
ajaran mistik yang banyak kesamaan, misalnya antara ajaran Syekh Siti
Jenar dari Jawa Tengah dengan ajaran sufi Al-Hallaj dari Persia. Bukan
kebetulan, keduanya mati dihukum oleh penguasa setempat karena ajaran-ajarannya
dinilai bertentangan dengan ketauhidan Islam (murtad) dan membahayakan stabilitas
politik dan sosial. Alasan lain yang dikemukakan Hoesein yang sejalan dengan
teori Moquetta, yaitu ada kesamaan seni kaligrafi pahat pada batu-batu nisan
yang dipakai di kuburan Islam awal di Indonesia. Kesamaan lain adalah bahwa
umat Islam Indonesia menganut mahzab Syafei, sama seperti kebanyak muslim di
Iran.
v Teori
Cina
Teori Cina mengatakan
bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia (khususnya di Jawa) berasal dari
para perantau Cina. Orang Cina telah berhubungan dengan masyarakat Indonesia jauh
sebelum Islam dikenal di Indonesia. Pada masa Hindu-Buddha, etnis Cina atau
Tiongkok telah berbaur dengan penduduk Indonesia—terutama melalui kontak
dagang. Bahkan, ajaran Islam telah sampai di Cina pada abad ke-7 M, masa di
mana agama ini baru berkembang. Sumanto Al Qurtuby dalam
bukunyaArus Cina-Islam-Jawa menyatakan, menurut kronik masa Dinasti
Tang (618-960) di daerah Kanton, Zhang-zhao, Quanzhou, dam pesisir Cina bagian
selatan, telah terdapat sejumlah pemukiman Islam. Teori Cina ini bila dilihat dari
beberapa sumber luar negeri (kronik) maupun lokal (babad dan hikayat), dapat
diterima.
Bahkan menurut sejumlah
sumber lokat tersebut ditulis bahwa raja Islam pertama di Jawa, yakni Raden
Patah dari Bintoro Demak, merupakan keturunan Cina. Ibunya disebutkan berasal
dari Campa, Cina bagian selatan (sekarang termasuk Vietnam). Berdasarkan
Sajarah Banten dan Hikayat Hasanuddin, nama dan gelar raja-raja Demak beserta
leluhurnya ditulis dengan menggunakan istilah Cina, seperti “Cek Ko Po”, “Jin
Bun”, “Cek Ban Cun”, “Cun Ceh”, serta “Cu-cu”. Nama-nama seperti “Munggul” dan
“Moechoel” ditafsirkan merupakan kata lain dari Mongol, sebuah wilayah di utara
Cina yang berbatasan dengan Rusia.
Bukti-bukti lainnya
adalah masjid-masjid tua yang bernilai arsitektur Tiongkok yang didirikan oleh
komunitas Cina di berbagai tempat, terutama di Pulau Jawa. Pelabuhan penting
sepanjang pada abad ke-15 seperti Gresik, misalnya, menurut catatan-catatan
Cina, diduduki pertama-tama oleh para pelaut dan pedagang Cina.
Semua teori di atas
masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Tidak ada kemutlakan
dan kepastian yang jelas dalam masing-masing teori tersebut. Meminjam
istilah Azyumardi Azra, sesungguhnya kedatangan Islam ke Indonesia
datang dalam kompleksitas; artinya tidak berasal dari satu tempat, peran
kelompok tunggal, dan tidak dalam waktu yang bersamaan.
Rengasdengklok
Peristiwa Rengasdengklok
1. Peristiwa Rengasdengklok
v Peristiwa Rengasdengklok sebenarnya
adalah peristiwa dibawanya Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta oleh para pemuda ke
Rengasdengklok dengan tujuan untuk mengamankan keduanya dari pengaruh Jepang.
Latar belakang peristiwa ini adalah perbedaan kelompok tua dengan kelompok muda
tentang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan. Peristiwa Rengasdengklok
terjadi pada tanggal 16 Agustus. 1945 Setelah Ahmad Subarjo menengahi
perdebatan antara golongan tua dan muda, dimana pada malam itu juga para tokoh
dari dua kelompok pejuang tersebut kembali ke Jakarta untuk menentukan langkah
selanjutnya.
Untuk penjelasan lebih rincinya ialah
v Peristiwa
Rengasdengklok adalah peristiwa dimulai dari “penculikan” yang dilakukan oleh
sejumlah pemuda (Soekarni, Wikana dan Chaerul Saleh dari perkumpulan “Menteng
31“) terhadap Soekarno dan Hatta. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16
Agustus 1945 pukul 04.00. WIB, Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok,
Karawang, untuk kemudian didesak agar mempercepat proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia, sampai dengan terjadinya kesepa-katan antara golongan tua
yang diwakili Soekarno dan Hatta serta Mr. Achmad Subardjo dengan golongan muda
tentang kapan proklamasi akan dilaksanakan.
Menghadapi
desakan tersebut, Soekarno dan Hatta tetap tidak berubah pendirian. Sementara
itu di Jakarta, Chairul dan kawan-kawan telah menyusun rencana untuk merebut
kekuasaan. Tetapi apa yang telah direncanakan tidak berhasil dijalankan karena
tidak semua anggota PETA mendukung rencana tersebut.
Kekalahan
Jepang dalam Perang Pasifik semakin jelas dengan dijatuhkannya bom atom oleh
Sekutu di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada tanggal
9 Agustus 1945. Akibat peristiwa tersebut, kekuatan Jepang makin lemah.
Kepastian berita kekalahan Jepang terjawab ketika tanggal 15 Agustus 1945 dini
hari, Sekutu mengumumkan bahwa Jepang sudah menyerah tanpa syarat dan perang
telah berakhir.
Berita
tersebut diterima melalui siaran radio di Jakarta oleh para pemuda yang
termasuk orang-orang Menteng Raya 31 seperti Chaerul Saleh, Abubakar Lubis,
Wikana, dan lainnya. Penyerahan Jepang kepada Sekutu menghadapkan para pemimpin
Indonesia pada masalah yang cukup berat. Indonesia mengalami kekosongan
kekuasaan (vacuum of power). Jepang masih tetap berkuasa atas Indonesia
meskipun telah menyerah, sementara pasukan Sekutu yang akan menggantikan mereka
belum datang. Gunseikan telah mendapat perintah-perintah khusus agar
mempertahankan status quo sampai kedatangan pasukan Sekutu. Adanya kekosongan
kekuasaan menyebabkan munculnya konflik antara golongan muda dan golongan tua
mengenai masalah kemerdekaan Indonesia.
Golongan
muda menginginkan agar proklamasi kemerdekaan segera dikumandangkan. Mereka itu
antara lain Sukarni, B.M Diah, Yusuf Kunto, Wikana, Sayuti Melik, Adam Malik,
dan Chaerul Saleh. Sedangkan golongan tua menginginkan proklamasi kemerdekaan
harus dirapatkan dulu dengan anggota PPKI. Mereka adalah Ir. Soekarno, Drs.
Moh. Hatta, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. Moh. Yamin, Dr. Buntaran, Dr. Syamsi dan
Mr. Iwa Kusumasumantri. Golongan muda kemudian mengadakan rapat di salah satu
ruangan Lembaga Bakteriologi di Pegangsaan Timur, Jakarta pada tanggal 15
Agustus 1945 pukul 20.00 WIB.
Rapat
tersebut dipimpin oleh Chaerul Saleh yang menghasilkan keputusan
tuntutan-tuntutan golongan muda yang menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia
adalah hal dan soal rakyat Indonesia sendiri, tidak dapat digantungkan kepada
bangsa lain. Segala ikatan, hubungan dan janji kemerdekaan harus diputus, dan
sebaliknya perlu mengadakan perundingan dengan Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta
agar kelompok pemuda diikutsertakan dalam menyatakan proklamasi.
Langkah
selanjutnya malam itu juga sekitar jam 22.00 WIB Wikana dan Darwis mewakili
kelompok muda mendesak Soekarno agar bersedia melaksanakan proklamasi
kemer-dekaan Indonesia secepatnya lepas dari Jepang.
Ternyata
usaha tersebut gagal. Soekarno tetap tidak mau memproklamasikan kemerdekaan.
Kuatnya pendirian Ir. Soekarno untuk tidak memproklamasikan kemerdekaan sebelum
rapat PPKI menyebabkan golongan muda berpikir bahwa golongan tua mendapat
pengaruh dari Jepang.
Selanjutnya
golongan muda mengadakan rapat di Jalan Cikini 71 Jakarta pada pukul 24.00 WIB
menjelang tanggal 16 Agustus 1945. Mereka membawa Soekarno dan Hatta ke
Rengasdengklok. Rapat tersebut menghasilkan keputusan bahwa Ir. Soekarno dan
Drs. Moh. Hatta harus diamankan dari pengaruh Jepang.
Tujuan para pemuda mengamankan Soekarno Hatta ke
Rengasdengklok antara lain:
- agar kedua
tokoh tersebut tidak terpengaruh Jepang, dan
- mendesak
keduanya supaya segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia terlepas
dari segala ikatan dengan Jepang.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 pagi, Soekarno dan
Hatta tidak dapat ditemukan di Jakarta. Mereka telah dibawa oleh para pemimpin
pemuda, di antaranya Sukarni, Yusuf Kunto, dan Syudanco Singgih, pada malam
harinya ke garnisun PETA (Pembela Tanah Air) di Rengasdengklok, sebuah kota
kecil yang terletak sebelah Utara Karawang.
Latar
belakang pemilihan RENGAS DENGKLOK
Pemilihan Rengasdengklok sebagai tempat pengamanan
Soekarno Hatta,
didasarkan
pada perhitungan militer. Antara anggota PETA Daidan Purwakarta dan Daidan
Jakarta terdapat hubungan erat sejak keduanya melakukan latihan bersama. Secara
geografis, Rengasdengklok letaknya terpencil, sehingga dapat dilakukan deteksi
dengan mudah setiap gerakan tentara Jepang yang menuju Rengasdengklok, baik
dari arah Jakarta, Bandung, atau Jawa Tengah. Mr. Ahmad Subardjo, seorang tokoh
golongan tua merasa prihatin atas kondisi bangsanya dan terpanggil untuk
mengusahakan agar proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan secepat mungkin.
Untuk tercapainya maksud tersebut, Soekarno Hatta harus segera dibawa ke
Jakarta.
Akhirnya Ahmad Subardjo, Sudiro, dan Yusuf Kunto
segera menuju Rengasdengklok. Rombongan tersebut tiba di Rengasdengklok pukul
17.30 WIB. Peranan Ahmad Subardjo sangat penting dalam peristiwa kembalinya
Soekarno Hatta ke Jakarta, sebab mampu meyakinkan para pemuda bahwa proklamasi
kemerdekaan akan dilaksanakan keesokan harinya paling lambat pukul 12.00 WIB,
nyawanya sebagai jaminan. Akhirnya Subeno sebagai komandan kompi Peta setempat
bersedia melepaskan Soekarno Hatta ke Jakarta.
2.
Pernyataan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Perumusan
teks proklamasi berlangsung hingga pukul 03.00, dikediaman perwira jepang yang
bernama Laksamana Maeda, yang simpati akan perlawanan bangsa Indonesia
menentang segala bentuk penjajahan, menurut rencana Ir. Soekarno, pembacaan
teks proklamasi akan dilaksanakan di lapangan Ikada (lapangan Monas). Namun
kemudian dialihkan di tempat kediaman Ir. Soekarno JL. Pegangsaan Timur No. 56
Jakarta. Hal ini karena di lapangan Ikada sudah berjumpul pasukan Jepang bersenjata
lengkap, kemudian untuk menghindari pertikaian antara tentara jepang dengan
bangsa pribumi, akhirnya pembacaan tersebut diusulkan untuk dipindahkan ke
kediaman Ir. Soekarno.
Upacara
proklamasi dihadiri oleh sejumlah tokoh bangsa Indonesia dengan pengawalan
pemuda. Upacara dimulai pukul 10.00 WIB dengan
urutan sebagai berikut :
1. Pemberian sambutan oleh dua anggota
panitia
2. Pemberian sambutan oleh Drs. Moh.
Hatta
3. Pembacaan teks proklamasi oleh Ir.
Soekarno
4. Pengibaran bendera merah putih oleh
Latih Hendraningrat dan Suhud.
Sebenarnya
peristiwa pembacaan ini hampir gagal, karena tadinya Ir. Soekarno tidak mau
membaca teks Proklamasi jika tidak bersama M. Hatta.
Namun
pada pukul 09.55 Drs. Moh. Hatta akhirnya tiba, dan langsung masuk rumah untuk
menemui Ir. Soekarno. Kedua pemimpin itu kemudian keluar menuju ruang depan.
Setelah mengantarkan pidato singkat, maka tepat pukul 10.00 WIB Ir. Sukarno
membacakan teks proklamasi dengan didampingi Drs. Moh. Hatta.
Setelah
pembacaan naskah proklamasi, acara dilanjutkan dengan pengibaran Sang Merah
Putih. Pada saat pengibaran berkumandanglah lagu Indonesia Raya karua WR.
Supratman untuk mengiringinya.
3. Pengesahan UUD dan Pengangkatan
Presiden dan Wakil Presiden
a)
Mengesahkan UUD
UUD
yang disahkan merupakan hasil siding BPUPKI tanggal 10 – 16 Juli 1945, yang
masih berupa rencana UUD. Rencana UUD tersebut dibahas dalam siding PPKI
tanggal 18 Agustus 1945. dalam pembahasan diadakan beberapa perubahan atas usul
Bung Hatta, yaitu mengenai sila pertama Pancasila dan Bab III Pasal 6.
Sila
pertama pancasila menyatakan bahwa “berdasarkan kepada Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi
"Ketuhanan Yang Maha Esa".
b)
Memilih Presiden dan Wakil Presiden
Sewaktu
sidang PPKI sedang membahas rencana UUD Bab III Otto Iskandardinata mengusulkan
agar sidang pemilihan Presiden dan wakil Presiden tersebut dilakukan secara
aklamasi. Ia mengajukan calon Ir. Soekarno menjadi presiden dan Drs. Moh. Hatta
sebagai wakil presiden. Semua anggota menerima keputusan yang dilakukan secara
aklamasi tersebut, sambil
menyanyikan
lagu Indonesia Raya, yang dinyanyikan saat kongres pemuda pada 28 oktober 1928.
Para Pemuda pejuang di rengas dengklok
Beberapa orang
pemuda yang terlibat dalam peristiwa RENGAS DENGKLOK antara lain
- Soekarni
- Jusuf
Kunto
- Chaerul
Saleh
- Shodancho
Singgih, perwira PETA dari Daidan I Jakarta sebagai pimpinan
rombongan penculikan.
- Shodancho
Sulaiman
- Chudancho
Dr. Soetjipto
- Chudancho
Subeno sebagai pemimpin Cudan Rengasdengklok (setingkat kompi). Chudan
Rengasdengklok memiliki 3 buah Shodan (setingkat pleton) yaitu Shodan
1 dipimpin Shodancho Suharjana, Shodan 2 dimpimpin Shodancho
Oemar Bahsan dan Shodan 3 dipimpin Shodancho Affan.
- Honbu
(staf) yang dipimpin oleh Budancho Martono.
- Kiki
Abdul Gani.
Langganan:
Postingan (Atom)